Presiden Joko Widodo memiliki pandangan sendiri tentang suku Batak. Menurut Jokowi, sapaan akrab Joko Widodo, nilai luhur budaya Batak tidak menyukai ujaran kebencian dan caci maki dan sejalan dengan ajaran Islam yang 'rahmatan lil alamin'.
"Saya yakin budaya Batak tidak menyukai ujaran kebencian, tidak menyukai caci-maki, umpatan, dan fitnah seperti yang ramai di media sosial. Budaya Batak pasti juga tidak sejalan dengan radikalisme dan terorisme," kata Presiden dalam sambutannya saat menghadiri puncak acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI), di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal, Sabtu (25/3/2017).
Prajurit Tanah Batak yang menyandang parang dan tombak, sekitar 1870. (Kristen Feilberg/Tropenmuseum)
“Belum tahu kau dulu orang Batak suka makan orang?” Ucapan setengah mengancam itu sering kali terlontar dari mulut halak hita saat berada di puncak kekesalannya terhadap seseorang.
Asal kalian tahu, semakin sering ucapan itu terlontar, anggapan orang Batak dulu adalah kanibal semakin mengendap di benak masyarakat.
Lalu, apakah kanibalisme pada masyarakat Batak dulu benar-benar nyata, atau hanya sekadar mitos?
Ada yang membenarkan hal ini, namun ada yang menganggapnya hanya ketakutan yang diciptakan. Yang jelas, hal ini masih menjadi perdebatan hingga kini.
Salah satu yang membenarkan adalah dokumen perjalanan misionaris Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward, ke Tano Batak pada 1824. Kala itu, orang Batak masih menganut kepercayaan animisme atau memuja roh leluhur.
Dalam ‘Witnesses to Sumatra: A Traveller’s Anthology’ (Reid, 1995), Burton dan Ward mengatakan, kanibalisme di Tanah Batak berkaitan dengan penegakan hukum dan tawanan perang.
Dua orang dari Baptist Missionary Society di London itu bahkan pernah melihat 20 tengkorak manusia yang masih disimpan di Desa Silindung.
“Setahun yang lalu, 20 orang sekaligus dimakan dalam sehari,” tulis Burtond dan Ward.
Berdasarkan keterangan tuan rumah tempat mereka menginap, Burton dan Ward mengatakan, 20 orang yang dimakan itu sering merampok orang-orang di jalan, sehingga perbuatan mereka tidak bisa lagi dibiarkan.
Selain merampok, seseorang juga bisa dimakan hidup-hidup ketika tertangkap berzina. “Dia akan dimakan sedikit demi sedikit tanpa dibunuh terlebih dahulu.”
Jasad korban perang maupun tawanan perang besar juga bisa dimakan bersama-sama. “Tetapi jika hanya dua desa yang berperang, hal tersebut dilarang,” tulis Burton dan Ward.
Namun, menurut Budayawan Batak, Sitor Situmorang, lewat bukunya ‘Toba Na Sae’ (2004), cerita Orang Batak makan orang tidak lebih dari kabar burung.
“Hal-hal seperti itu (Orang Batak makan orang) kemudian selalu saja diulang-ulang oleh setiap pencatat dari Barat tanpa pernah menyaksikan apalagi membuktikannya,” kata Sitor yang sudah berpulang 21 Desember 2014 silam.
Sitor menduga, catatan Orang Batak makan orang oleh sejumlah pencatat Barat hanyalah prasangka belaka, setelah mereka menyaksikan tengkorak manusia di rumah-rumah halak hita.
“Mereka sama sekali tidak mengetahui adat kebiasaan menggali dan menyimpan tengkorak leluhur di rumah sebelum dimasukkan dalam kubur batu,” kata Sitor tentang tradisi mangokal holi(menggali dan memindahkan tengkorak leluhur).
Asumsi ini, kata Sitor, yang kemudian berkembang di benak orang-orang Barat lain sampai akhir abad ke-19, termasuk Modigliani.